Minggu, 23 Februari 2014

CUCI KAMPUNG

'Bukan cinta, tetapi terpaksa!’ kata itu sering saya dengar terlontar dari mulut teman yang notabene-nya masih bisa dikatakan pengantin baru. Hehehe... Mengapa demikian? Mari kita cari tahu.

            Pernahkah Anda sekalian mendengar kalimat cuci kampung? Bagi Anda yang pernah mendengar atau pun bahkan melihatnya langsung, maka Anda mengerti apa yang saya maksudkan, namun jika belum pernah sama sekali, maka saya akan sedikit berbagi cerita tentang cuci kampung ini kepada anda.

            Kata cuci kampung kalau tidak salah untuk pertama kalinya saya dengar di Simpang Rambutan(Suban), Jambi sekitar tahun 1997. Cuci kampung kalau boleh saya katakan, adalah salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat Melayu Jambi(mungkin di etnis lain juga ada hal demikian dengan istilah yang berbeda) untuk membersihkan kampung dari hal-hal yang dianggap maksiat, terutama untuk menangkal terjadinya perzinahan.

            Di wilayah Jambi terkhususnya di daerah dimana masih kental dengan tradisi Melayu Jambi, untuk menjaga ketentraman masyarakat maka diberlakukan batasan kedekatan antara pria dan wanita, juga jam malam. Hal ini diberlakukan dan telah menjadi kesepakatan bersama demi terhindarnya kampung itu dari hal-hal yang tidak diinginkan.

            Jika sepasang, ataupun beberapa pasang pria dan wanita berada dalam satu gedung dengan rentan waktu yang lama, dimana diketahui mereka bukanlah pasangan suami istri ataupun menunjukkan gerak gerik yang tidak lazim, apalagi itu terjadi dimalam hari maka dapat dilakukan cuci kampung dengan menangkap basah mereka dan menggiringnya ke rumah tokoh adat setempat.

            Jika sepasang kekasih yang belum menikah didapati bersama ditempat yang sepi, misalkan di gubuk, di semah-semak, atau di rumah dan dalam rentan waktu yang cukup lama terutama malam hari, apalagi melewati jam malam(Sekitar pukul 23.00), untuk menghindarkan terjadinya perzinahan, maka mereka akan di tangkap dan digiring ke rumah tokoh adat setempat.

            Jika sepasang pria dan wanita didapati berduaan melewati jam malam, baik di gubuk, di rumah, di semak-semak, bahkan di jalanan, maka mereka berdua juga akan di tangkap dan digiring ke rumah tokoh adat setempat.

            Atau, jika sepasang pria dan wanita didapati tinggal serumah dan tanpa ada ikatan pernikahan, sehingga meresahkan warga sekitar, maka mereka ditangkap dan digiring ke rumah tokoh adat setempat.

            Para pasangan yang terjaring operasi cuci kampung ini kemudian akan digiring ke rumah tokoh setempat, baik itu ketua RT/RW, kepala dusun/lorong atau desa, tokoh adat, tokoh agama, maupun tokoh masyarakat yang dituakan di kampung tersebut untuk nantinya diberi pembinaan, dan jika perlu mereka akan dinikahkan, dan tidak jarang juga dilakukan pengusiran karena dianggap akan menjadi aib dan contoh yang kurang baik.

            Memang, tradisi cuci kampung ini dinilai sangat baik untuk menjaga ketentraman di sebuah kampung, atau pun penangkal dari prilaku perzinahan yang dimana saat sekarang cuku memprihatinkan.

            Namun, tak selamanya apa yang baik atau dinilai baik itu pada pelaksanaanya semuanya baik. Banyak juga cerita menyimpang dan lucu, bahkan meninggalkan kesan buruk pada pelaksanaan cuci kampung ini.

            Saat berkesempatan tinggal di Simpang Rambutan yang merupakan bagian dari Desa Suban, Kecamatan Batang Asam(dulunya bagian dari Kec. Tungkal Ulu), Kabupaten Tanjung Jabung Barat(yang dulunya Kab. Tanjung Jabung dan kemudian dimekarkan menjadi Kab. Tanjug Jabung Barat(Tanjabbar) dan Kab. Tanjung Jabung Timur(Tanjabtim)), Provinsi Jambi, banyak cerita cuci kampung ini yang tidak wajar dilakukan.

            Pernah sekali saya bercerita dengan seorang yang pengakuanya merupakan korban cuci kampung. Seorang pria asal Sumatera Utara, yang pada satu kesempatan kami bercerita di sebuah kedai kopi. Sering sahabat yang sama-sama perantauan dari Sumatera Utara melontarka ledekan kepadanya, maaf, karena si kawan yang berbadan lumayan ideal dan wajah yang lumayan, namun ber-istri-kan kalau boleh saya utarakan pendek, gemuk, hitam, dan berambut keribo.

            Kawan ini menuturkan kepada kami kalau dia merupakan korban dari cuci kampung, dimana si wanita yang kini adalah istrinya menjebaknya dengan mendatanginya ke gubuknya di kebun, dan pengakuan kawan ini, betapa terkejudnya dia beberapa saat setelah itu datang keluarga si wanita beserta pemuda kampun dan beberapa tokoh masyarakat menangkap mereka dan menggiring mereka ke rumah ketua RT. Dan, dipaksa menikahi si wanita. Walau awalnya(pengakuannya) dia keras menolak, dengan alasan tidak  tidak saling mencintai dan hanya kesalah pahaman, namun dia pun terpaksa menikahi si wanita, karena jika tidak dia diwajibkan membayar hutang kampung berupa sepasang kambing untuk disembelih guna cuci kampung dan ancaman terberatnya adalah pengusiran. Atas pertimbangan itulah si kawan ini merasa terpaksa harus menikahi si wanita.

            Kisah yang lainya, adalah, dimana seorang pria berdarah asal Deli Serdang, Sumatera Utara yang memiliki hubungan cukup dekat dengan seorang gadis setempat. Karakter si pemuda yang terbuka, ramah, dan mudah berbaur, ternyata disalah artikan oleh si gadis dan keluarganaya. Sehingga dalam satu kesempatan, dengan kronologi kejadian hampir bersamaan seperti cerita diatas, mereka pun ditangkap dan digiring ke rumah tokoh setempat. Namun, bedanya dalam kasus ini si pemuda bersikeras menolak dan mengatakan ini sebuah kesalahan, dan karena saat itu tidak ada titik temu perdamaian yang disepakati dan atas pertimbangan si pemuda yang hanya perantau dan sebatang kara domisili di tempat itu, maka tak segan-segan si pemuda itu pergi meninggalkan kampung itu untuk menghindar dari kewajiban cuci kampung yang dibebankan kepadanya.

            Kisah berikut ini berbeda dari dua kisah sebelumnya, dimana kali ini ada seorang pemuda pendatang yang jatuh cinta dengan gadis setempat, dan karena cintanya terus ditolak, dia pun menyusun rencana untuk ditangkapkan. Malam itu, sekitar pukul 21.00 wib, si pemuda tahu persis kalau si gadis akan lewat sepulang dari masjid, maka dengan berlagak hendak membantu, dia menawarkan jasa untuk mengantar si gadis ke rumah dengan sepeda motornya. Awalnya si gadis menolak, namun karena sedikit dipaksa sehingga si gadis pun sedikit tidak enak menolak kebaikan seseorang, maka, si gadis pun bersedia diantar oleh si pemuda dengan sepeda motornya.

            Singkat cerita, si pemuda bukannya mengantar si gadis kerumah, melainkan membawanya ke sebuah tempat sepi, namun dengan lihainya si pemuda bersikap seakan baik kepada si gadis dan mengaku hanya hendak bercerita saja, karena si pemuda ini tahu persis aturan di kampung itu dan mengusahakan seakan ini bukan suatu tindak kejahatan namun mengusahakan si gadis merasa tidak mengalami penipuan sehingga nantinya ini tampak suatu yang tak disengaja. Sekitar Pukul 22.30, jam malam sudah berakhir dan tentunya orang yang sesekali lewat melihat sepasang insan berlainan jenis klamin hanya berduan ditempat yang gelap melampaui jam malam, maka tentunya berita ini tersebar ke kampung, dan pastilah tokoh setempat menganjurkan masyarakat untuk melakukan tindakan cuci kampung. He-he-he… Dan dengan kecerdikannya, dan pertimbangan harga diri keluarga(si gadis), maka cita-cita si pemuda pun kesampaian.

            Selain seperti cerita-cerita diatas, cuci kampung ini juga sering direkayasa bukan hanya sebelah pihak saja. Sering juga ini dilakukan oleh pasangan yang tidak mendapat restu, ataupun yang telah mengalami kecelakaan(kiasan untuk menggambarkan hubungan melewati batas persahatabat/pacaran), sehingga dengan cuci kampung dan dengan mempertimbangkan nama baik keluarga, maka mereka dinikahkan pula.

            Cerita beriku ini saya dengar dari seorang sahabat Kerinci saya, saat berada di Suban di tahun 2009, waktu itu saya berkesempatan tinggal di sana dalam rentan waktu 1998 – 1999, 2004 – 2005, dan 2009 – 2011. Cerita ini berawal dari seorang peria asal Pulau Jawa yang perawakanya cukup menarik perhatian kaun hawa. Bertujuan mengubah nasib di perantauan, karena sudah banyak saudara asal Jawa yang sukses mengikuti program transmigrasi di wilayah Jambi, maka dia pun sepertinya tertarik mengikuti jejak pendahulunya.

            Sebagai seorang pemuda, tentunya membuka diri untuk bergaul dengan siapa saja tanpa ada batasan agama, suku, ras, dll. Jiwa muda, jiwa yang netral. Hal ini ternyata menaruh simpati cukup besar dalam hati seorang gadis setempat dan keluarganya. Namun, si pemuda sudah memiliki wanita idaman, dan mengingat gadis setempat yang menaruh hati yang cukup dalam kepadanya itu memiliki fisik yang bisa dikatakan menurut standart ditempat itu sangat jauh dibawah standart(maaf), tentunya sang pemuda tidak pernah menaruh perhatianya kepada gadis itu.

            Singkat cerita, dengan perencanaan yang matang, maka mereka pun ditangkap oleh pihak si gadis dan dipaksa untuk menikah. Menimbang karena tidak mau memberi masalah kepada keluarga yang dimana selama ini dia tinggal, maka si pemuda dengan terpaksa menerima kewajiban cuci kampung dengan menikahi si gadis tersebut.

            Cerita belum berakhir sampai disitu. Masalah kemudian terjadi saat dimana pesta pernikahan itu akan dilaksanakan. Pesta yang di daerah itu bisa dikatakan pesta yang cukup besar yang dihadiri banyak orang, awalnya tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan akan adanya masalah. Namun, orang yang hadir di pesta sadar ada masalah saat hendak pembacaan ijab kabul, dimana pria yang datang adalah pria yang berbeda. Dan, pria yang seharusnya berada di situ saat pembacaan hijab kabul sudah terbang ke Jawa dengan kekasihnya.

            Masih banyak lagi mungkin cerita dibalik cuci kampung ini yang luput dari perhatian saya, namun itulah beberapa cerita yang sempat saya dengar dan lihat saat berada di Suban, Jambi. Semoga ini memberi informasi kepada pambaca setidaknya sebagai bahan bacaan yang menghibur. Mejuah-juah.(bps/@simbisa_366)



Sabtu, 22 Februari 2014

Karo di Simpang Rambutan

Karo merupakan salah satu suku asli yang mendiami dataran tinggi Karo (pegunungan Bukit Barisan), eks Kresidenan Sumatera Timur, dan beberapa wilayah di Nangro Aceh Darusalam(NAD). Suku ini juga dijadikan nama salah satu kabupaten di Sumatera Utara, yakni: Kabupaten Karo. Daerah domisili dominan suku Karo disebut Taneh Karo Simalem yang tersebar di daerah-daerah di wilayah yang disebutkan tadi di atas. Dalam perkembangannya, suku ini kini dikenal sebagai salah satu suku terbesar di Sumatera Utara dengan populasi diperkirakan sekitar 3 juta jiwa yang tersebar di seluruh nusantara dan bahkan dunia.

Suku Karo dikenal dari merga(marga)–nya, yakni: Merga Silima (1. Karo-karo, 2. Ginting, 3. Tarigan, 4. Sembiring, dan 5. Peranginangin) serta cabang dan ranting dari masing-masing merga itu. Suku Karo walau terkesan pendiam, pemalu, dan tertutup, namun suka bertualang, sehingga keberadaanya dapat diidentifikasi di hampir semua wilayah nusantara, tak terkecuali di Provinsi Jambi.

Kali ini penulis hendak bercerita tentang keberadaan suku Karo di salah satu daerah di Provinsi Jambi, yakni di Simpang Rambutan. Simpang Rambutan terletak di Desa Suban, Kecamatan Batang Asam, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Letaknya sekitar Km. 168 – 172 di Jalan Lintas Timur Sumatera yang meghubungkan antara Provinsi Jambi dengan Provinsi Riau. Diyakini, dulunya Simpang Rambutan ini dirintis oleh Layari Barus yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Agus ataupun Datuk Barus Tua(hal ini dikukuhkan dalam acara Gendang Guro-guro Aron masyarakat Karo Suban di tahun 2011). Beliau adalah seorang pendatang Karo dari Deli Serdang, Sumatera Utara.

Simpang Rambutan merupakan perpaduan antara kawasan permukiman penduduk, perdagangan, dan lahan pertanian(khususnya perkebunan kelapa sawit). Adapun etnis domina di daerah ini adalah etnis Karo, Jawa, Batak, dan Melayu serta dari etnis-etnis lainnya di nusantara seperti Bugis, Flores, Banjar, dlsb.

Keberadaan Suku Karo di Simpang Rambutan sudah diyakini ada sejak awal permulaan pembukaan kawasan ini, walau tidak ada data pasti kapan. Namun, setidaknya permukiman Karo di Simpang Rambutan sudah ada sekitar tahun 1996. Penulis mencatat tiga gelombang migrasi suku Karo ke daerah ini, yakni gelombang pertama sebelum era reformasi, sebelum tahun 1996. Gelombang pertama ini penulis menyebutnya gelombang pemula(perintis), belum ramai dan hanya beberapa keluarga yang masih ada hubungan dengan Layari Barus sebagai perintis.

Meletusnya reformasi di tahun 1998 yang berakibat terjadina perubahan signifikan di semua sektor di negeri ini, yang beberapa efek negatifnya kala itu terjadinya kerusuhan di mana-mana khususnya perkotaan serta kerisis moneter, memaksa masyarakat Karo yang selama ini berspekulasi dalam usaha pertania dan perdagangan tentunya terkena imbas melemahnya ekonomi, sehingga harus mencari alternatif untuk menyokong usaha dan ekonominya, yang salah satunya mencari lahan-lahan baru yang lebih luas dan dengan beaya kerja yang lebih murah. Simpang Rambutan yang kala itu sekitar 1998 masih kawasan permukiman kecil yang dikelilingi hutan dan letaknya yang strategis di pinggir Jalan Lintas Timur Sumatera menjadi sasaran empuk kaum migran Karo, baik dari Sumatera dan Jawa. Pada gelombang kedua ini juga masih belum ramai. Sebab, masih banyak orang Karo kala itu yang membeli lahan, namun belum mengolahnya(hanya sebagai stok dan investasi). 

Namun, memasuki tahun 2000 gelombang migrasi besar-besaran terjadi, bukan hanya dari etnis Karo, tetapi juga Jawa, dan Batak. Serta puncaknya sekitar tahun 2004 – 2008. Untuk masyarakat dari etnis Karo sendiri, bukan hanya dari Deli Serdang dan Kota Medan yang selama ini asal pendatang ke Simpang Rambutan, akan tetapi pada gelombang ketiga ini juga terjadi migrasi dari suku Karo yang cukup besar ke Simpang Rambuta dari daerah Binjai dan Langkat, bahkan dengan beberapa bencana dan wabah tanaman membuat masyarakat Karo dari dataran tinggi Karo juga ikut mencoba peruntungan di Simpang Rambutan, serta beberapa diantaranya juga dari Pulau Jawa. 

Sekarag Simpang Rambutan berkembang pesat, bukan hanya tempat perantauan bagai masyarakat Karo, Jawa, dan Batak, tetapi semua suku banggsa di nusantara. Bukan lagi hanya lahan perkebuanan, namun juga berkembang menjadi kawasan permukiman dan perdagangan, dan tidak tertutup kemungkinan juga nantinya berkembang sebagai kawasan industri.

Rabu, 19 Februari 2014

Simpang Rambutan Dalam Foto

Simpang Rambutan, Suban,
 Tanjung Jabung Barat, 
Jambi (dalam foto)
Mejuah-juah.

"Orang Karo di Suban, Jambi" Dok: Bastanta P. Sembiring

"Aditia Francesco Karo-karo Lubis"  Dok: Bastanta P. Sembiring

"Bersama PERMATA Rg. GBKP Suban: Santai setelah selesai gotong royong". Dok: Bastanta P. Sembiring


"Orang Karo di Simpang Rambutan - Suban, Jambi" Dok. : Bastanta P. Sembiring

"Orang Karo di Simpang Rambutan - Suban, Jambi" Dok. : Bastanta P. Sembiring


Simpang Rambutan, Suban, Jambi


Anak-anak Simpang Rambutan, Suban, Tanjung Jabung Barat, Jambi.
Anak-anak Sp. Rambutan lagi ngumpul-ngumpul dan manggang ikan[2010]